Kisah Perjuangan Santri Penyandang Disabilitas, Belajar Al-Qur'an Hingga Berbulan-Bulan
Meski kondisi fisiknya belum sempurna, siswa tunanetra di Pontianak, Kalimantan Barat, rajin belajar membaca Alquran Braille setiap pagi di Iqra Braille Center, Jalan Sepakat II.
Guru sekaligus pemilik Iqra Braile Center Hendri, setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menguasai teknik membaca huruf braile, khususnya Alquran.
“Tergantung kekuatan masing-masing. Ada yang puasa membaca 3 hari, tapi ada juga yang butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan,” ujarnya, Minggu (2/5/2021).
Salah satu murid Hendri bernama Yatim mengaku sudah menempuh pendidikan selama 4 bulan.
Santri saat membaca Alquran huruf braille di Yayasan Raudlatul Makfufin, Tangerang Selatan, Senin (23/5/2018). Yayasan Raudlatul Makfufin adalah sebuah pesantren bagi tunanetra dan cetakan Alquran Braille untuk diberikan kepada tunanetra di seluruh Indonesia.
“Di sini saya bisa belajar agama, kalau di desa saya tidak maju,” kata perempuan asal Sambas itu.
Melihat kondisi tersebut, menurut Hendri yang juga tuna netra, tidak memaksa anak asuhnya untuk segera membaca Alquran Braille.
Hendri mengatakan, selain mengajar membaca Alquran, ia juga membimbing siswanya agar percaya diri dan mandiri.
Sementara itu, selain mengajar 10 siswa di rumahnya, dia juga mengajar sekitar 30 siswa secara online.
Bahasa isyarat
Para santri Pondok Pesantren Rumah Tahfidz untuk Tunarungu Darul A'Shom sembari belajar membaca Alquran dalam bahasa isyarat.
Sementara itu, sejumlah santri tunarungu di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A'Shom, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), aktif belajar membaca Alquran menggunakan bahasa isyarat.
Menurut pengasuh gubuk tersebut, Ustaz Abu Kahfi (47), saat pertama kali mengaji dalam bahasa isyarat, ia bertemu dengan dua orang tuna rungu di Jakarta 12 tahun lalu.
Saat itu, ia membawa kedua anaknya ke sebuah pesantren di Bandung. Abu Khafi juga berusaha mempelajari bahasa isyarat agar komunikasi dengan keduanya berjalan lancar.
“Awalnya saya belum belajar agama, saya belajar belajar isyarat dulu. Saya ajak mereka senam bersama siswa, Alhamdulillah sebulan sudah terkoneksi dengan bahasa mereka,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, saat ini pondok yang ia rawat memiliki 59 siswa. Umur termuda 6,5 tahun dan yang tertua 28 tahun.
Pria asal Bandung, Jawa Barat ini juga menjelaskan bahwa setiap siswa yang masuk ke pondoknya berasal dari berbagai daerah, antara lain Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Lampung, dan Kalimantan.
Ia memiliki prinsip, mengajarkan membaca Alquran bagi penyandang disabilitas, khususnya yang tunarungu, harus berpelukan layaknya sahabat.
“Saya tidak hanya mengajar, setelah masuk gubuk saya anggap mereka anak-anak saya. Kalau kita posisikan mereka sebagai murid pasti ada pembatas, kita tidak ada batasan dengan mereka,” ujarnya.
Meski demikian, diakuinya, mendidik anak istimewa itu tidak mudah dan merupakan tantangan tersendiri, Kamis (9/4/2021).
Seperti diketahui, Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A'Shom awalnya berada di Kabupaten Bantul. Setelah itu 2,5 bulan lalu dipindahkan ke Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Posting Komentar
Posting Komentar