Kisah Guru Honorer di Ngawi Hidup Bersama Kambing dan Anak Sering Diejek, Camat Sampai Menangis

Posting Komentar


 Kisah Guru Honorer di Ngawi Hidup Bersama Kambing dan Anak Sering Diejek, Camat Sampai Menangis


Seorang guru di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, hidup dalam kondisi mengenaskan.


Adalah Sri Hartuti, warga Dusun Suren, Desa Pandean, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Ngawi.


Ia bersama suami dan ketiga anaknya harus tinggal di gubuk di tengah hutan jati.


Ironisnya, ia tinggal di bawah satu atap dengan beberapa ekor kambing.


Sri Hartuti telah mengajar selama belasan tahun dan masih menjadi guru honorer.


Gaji bulanan hanya Rp. 350.000 tidak cukup untuk membangun rumah yang layak.


Tinggal bersama kambing


Sri Hartuti dan keluarganya tinggal di rumah sederhana berlantai tanah yang ditempeli kandang kambing.


Dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu.

Terdapat celah yang menganga di beberapa sisi sehingga angin dapat masuk dengan mudah.


Bau tak sedap tercium dari kandang kambing yang berada di bawah atap yang sama dengan rumah tersebut.


"Maaf, baunya tidak enak dari kandang kambing," kata Sri Hartuti di rumahnya, Kamis (21/10/2021).


Anak diejek tidur dengan kambing


Menurut Sri Hartuti, kambing di rumahnya dipelihara untuk membantu perekonomian keluarga.


Kambing terkadang dijual untuk membeli beras.


Karena hanya memiliki rumah sederhana, kambing ditempatkan berdampingan dengan rumah induk.


Karena itu, Sri Hartuti mengaku anaknya sering diejek teman-temannya.


"Anak saya nomor dua yang kelas 1 ini sering diejek teman-temannya tidur dengan kambing," ujarnya.


Dia hanya bisa menghibur ketiga anaknya jika mereka diolok-olok.


Ketika anaknya diejek, Sri Hartuti akan memberitahu anaknya bahwa Tuhan sedang menguji keluarga mereka.


Ia juga berharap suatu saat ketiga anaknya akan mengingat betapa sulitnya hidup mereka sekarang.


“Biar mereka ingat bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak memiliki, agar mereka tidak sombong ketika berhasil,” jelasnya.


Bekerja sebagai guru honorer, Sri Hartuti memperoleh gaji Rp 350.000 per bulan.


Diketahui, ia telah mengajar selama 17 tahun.


Sementara suaminya bekerja serabutan di kebun dengan penghasilan kecil.


Kondisi ini membuat mereka tidak mampu membangun rumah yang layak.


Padahal, tempat tinggal mereka saat ini dibangun di atas tanah Perhutani.


"Tanah ini juga menumpang di Perhutani. Untuk memperbaikinya, gaji kami tidak cukup," katanya.


Membantu entaskan buta huruf


Meski minim kondisi, Sri Hartuti tetap menjalankan kewajibannya sebagai pendidik.


Dia ingin orang-orang di desanya bisa membaca dan menulis.


Sebab, masih banyak masyarakat desa yang buta huruf.


Selain itu, banyak anak putus sekolah karena kemiskinan.


“Awalnya mengajar di sini banyak anak kelas 4 SD yang tidak bisa membaca. Saya ingin anak-anak di sini pintar-pintar,” jelasnya.


Berkat usahanya selama ini, banyak siswanya yang melanjutkan pendidikan tinggi hingga menjadi pengusaha sukses.


"Meskipun aku seperti ini, aku bangga jika ada muridku yang tahu lewat disini menyapaku."


“Sudah ada beberapa siswa saya yang menjadi polisi, pengusaha, dan banyak yang sudah kuliah,” jelasnya.


Camat sampai menangis


Kondisi buruk Sri Hartuti dan keluarganya membuat Camat Karanganyar, Nur Yudhi M Arifin, menangis.


“Pertama kali saya lihat langsung tanya ke kepala dusun (Kasun), itu rumah apa seperti kandang kambing karena di depannya ada kambing,” kata Arifin saat ditemui di rumah Sri Hartuti.


Arifin mengaku baru pertama kali menemukan rumah warganya yang sangat tidak layak huni.


“Saya keliling ke sini karena persentase vaksin di desa ini hanya 14 persen,” ujarnya.


Arifin mengatakan akan berusaha membantu Sri Hartuti untuk hidup lebih layak.


“Saya merasa menjadi camat telah gagal, saya akan berusaha membantu semampu saya,” ujarnya dengan berlinang air mata.

Related Posts

Posting Komentar