Sudah 8 tahun Fitriani lumpuh terbaring di gubuk kumuh, Desa Blang Weu Baroh, Kota Lhokseumawe
Impian Fitriani untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pupus begitu saja. Bukan hanya karena dia miskin, tapi juga tiba-tiba dia lumpuh. Tahun 2013 baru saja lulus SMP, di luar dugaan penyakit itu menyentuh tubuh wanita kelahiran 21 September 1992 itu.
Fitriani (28), anak pertama Zainal Abidin dan Berlian, warga Gampong Blang Weu Baroh, Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Ia lahir dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan di tengah pergolakan Aceh yang meraih dana otsus setelah kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia sepakat berdamai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pasangan itu tidak pernah makmur. Terus hidup dalam kemelaratan. Fitriani dan adik-adiknya, apalagi bermimpi tidur nyenyak di bawah hunian yang nyaman, berharap mendapat kesempatan makan enak, mereka tak berani melakukannya. Kondisi ekonomi orang tuanya sangat buruk.
Selain Fitriani yang sakit, ayahnya juga setali tiga uang. Zainal Abidin menderita kaki gajah. Di tengah penderitaannya, ia tetap menarik becak di kawasan Cunda, Lhokseumawe. Dua adik Fitriani, Heri Mayanda dan Muhammad Taufik, juga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka hanya tamat SMP dan saat ini menganggur.
Dengan uang yang terbatas, Zainal Abidin berusaha mencari pengobatan terbaik untuk putrinya. Tapi tekadnya berbenturan dengan kenyataan. Pada akhirnya, dia harus merawat anaknya di sebuah gubuk kumuh tempat mereka berteduh dari guyuran hujan dan terik matahari.
Heri Mayanda dan adiknya bertugas mengurus Fitriani. Setiap hari mereka berdua memandikan kakaknya. Akibatnya tercium bau apek di dalam kamar. "Apa yang ayah bawa pulang, itulah yang kita makan," kata Heri.
Sabtu (24/4/2021)
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kota Lhokseumawe, Jon Darmawan SPd MPd yang berkunjung ke Fitriani bersama Ketua Ikatan Alumni Dayah Kuta Krueng Kota Lhokseumawe, Tgk Fadli mengatakan, kondisi keluarga sangat memprihatinkan.
Di gubuk reyot itu, mereka hidup dengan penuh keprihatinan. Tertatih-tatih menjalani hidup dengan segala kekurangannya.
“Kasihan, sakit, pendidikan yang hanya bisa baca tulis, sudah lebih dari cukup alasan keluarga Zainal Abidin membutuhkan bantuan. Mereka dalam segala hal dalam keadaan darurat,” kata Jhon Darmawan.
Darmawan mengatakan, gubuk reyot ayahnya Fitriani terletak di pinggir jalan Buloh Blang Ara, kawasan Trieng Dua Peureudee, Blang Weu Baroh, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe.
Pondok itu tidak bisa dihuni. Lantai dasar dengan satu kamar tidur tempat Fitriani berbaring siang dan malam. Ayah dan kedua adiknya tidur di ruang tamu dengan kasur tergeletak di lantai.
Tanah tempat mereka membangun gubuk dipinjam dari warga Kota Lhokseumawe. Meski begitu, saat ini Zainal sudah memiliki sebidang tanah di Blang Weu Baroh hasil kerja kerasnya beternak sapi warga dengan konsep bagi hasil. Tanah tersebut baru saja dibeli oleh Zainal.
Geuchik Blang Weu Baroh, Maimun, S.Pd menjelaskan, pihaknya melalui Dana Desa telah berupaya membantu merehabilitasi gubuk tersebut. Namun, karena lahan tersebut bukan milik Ayah Fitriani, maka tidak bisa direhabilitasi melalui dana desa.
“Kami pernah mengajukan bantuan kursi roda untuk Fitriani, namun hingga saat ini belum terealisasi,” kata Maimun.
Jhon berinisiatif menggalang dukungan publik. Dia sudah meminta izin dan Zainal Abidin tidak keberatan. Bagi para donatur yang ingin membantu meringankan beban Fitriani dan keluarganya dapat menghubungi Ketua Umum Jhon Darmawan di nomor 081360350319. Kepala IGI Kota Lhokseumawe berjanji akan selalu mengupdate secara transparan setiap donasi yang diterima melalui media sosialnya.
Posting Komentar
Posting Komentar