Kisah perjalanan hidup Ajeng, bertemu ibu kandungnya setelah 15 tahun berpisah

Posting Komentar


 Kisah perjalanan hidup Ajeng, bertemu ibu kandungnya setelah 15 tahun berpisah


Bagai sebuah keajaiban, setelah berpisah selama kurang lebih 15 tahun, gadis bernama Ajeng Ayu Salma (19) ini kini dapat dipertemukan kembali dengan ibunya D (38).


Cerita bermula pada tahun 2006 di Jakarta, ketika D harus rela berpisah dengan suaminya.


Karena bingung dan mengalami kesulitan ekonomi, D memutuskan untuk menyerahkan Ajeng kepada temannya.


D merasa pada saat itu bahwa ini adalah cara terbaik.


Saat melepaskan Ajeng, D masih dijanjikan bisa tetap berhubungan namun lama kelamaan D tidak diperbolehkan berkomunikasi lagi.


Selama belasan tahun berpisah, D sebagai seorang ibu masih memikirkan nasib putrinya.


Setiap hari dia hanya bisa berdoa untuknya, bahkan ketika D makan di dalam hatinya selalu menawarkan Ajeng.


“Saya pikir lebih baik pergi ke orang tua asuh karena saya tidak punya tempat tinggal. Pada tahun 2006 ketika Ajeng berumur 4 tahun. Selama ini saya hanya bisa mendoakannya, kalau makan, saya bicara dalam hati, menawarkan makan," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (7/9/2021).


"Saat itu masih bisa telepon menanyakan kabar Ajeng, sedang apa? Kemudian (orang tua angkat Ajeng) ganti nomor mungkin takut diambil lagi," ujarnya.


Ajeng mulai bercerita bahwa setelah tinggal bersama orang tua angkatnya, dia beberapa kali pindah.


Dari Jakarta, ia pindah ke Blitar, dan sebentar pindah ke Kalimantan.


Selama di Blitar, Ajeng mendapat perlakuan tidak menyenangkan, bahkan sampai kekerasan fisik.


Bahkan ketika dia duduk di kelas 4 atau 5, dia berpikir untuk kabur dari rumah.


“Saat itu saya hanya bisa menulis di diary, saya masih takut kabur. Saya pernah mendengar bahwa saya bukan anak kandung," katanya.


Saat SMP, Ajeng disuruh membersihkan kamar orang tuanya.


Saat itu, Ajeng menemukan dokumen hak asuhnya yang menunjukkan bahwa dia bukan anak kandungnya.


Tak hanya dokumen yang ditemukan, ia juga menemukan fotokopi KTP ibu kandungnya, yakni D.


"Saya dapat dokumen itu dan ingin menangis, ada fotokopi KTP ibu saya yang mirip dengan saya," katanya.


Ajeng kemudian menceritakan temuannya itu kepada guru Bimbingan Konseling (BK).


Ia berharap ada solusi yang diberikan guru. Saat itu, Ajeng juga berharap agar guru BK tidak memberitahu orang tuanya.


Namun, beberapa hari kemudian orang tua Ajeng diundang ke sekolah.


"Kalau cerita ke BK, itu harus dirahasiakan. Tapi setelah cerita, Papa datang ke sekolah dan bertanya dari mana dia mendapatkan dokumen ini, lalu Papa mengambil dokumen itu," katanya.


Saat Ajeng duduk di bangku kelas 1 SMA, orang tuanya tidak diperbolehkan datang untuk mengambil raport.


Usai mengambil rapor, Ajeng diberi kabar tidak masuk kelas dan dikeluarkan (DO) dari sekolahnya.


Ajeng bertanya-tanya mengapa dia bisa tinggal di kelas dan dikeluarkan dari sekolah, padahal semasa SMA dia adalah orang yang rajin dan berprestasi. Ajeng juga mendapat beberapa sertifikat.


“Setelah diberitahu bahwa saya tidak masuk kelas, saya meminta rapor saya di mana saya yang tidak naik kelas tetapi tidak diberikan. Dari kejadian ini semuanya mulai disita, seperti laptop, perangkat sehingga tidak bisa berkomunikasi,” ujarnya.


Ajeng cukup pintar sebelum perangkat itu diserahkan kepada orang tua angkatnya, dan sempat mengeluarkan kartu SIM-nya.


Dia juga ingat bahwa dia masih memiliki ponsel yang tidak digunakan.


Dengan menggunakan perangkat tersebut, ia mencoba menghubungi temannya dan menyampaikan niatnya untuk kabur dari rumah.


Sebelum kabur dari rumah ia menyiapkan dokumen seperti ijazah dan pakaian.


“Saat itu, dia hanya membawa beberapa potong pakaian, senilai Rp. 200.000. Setelah itu saya berniat mencari pekerjaan di Malang karena kotanya lebih besar, pasti ada pekerjaan di sana, katanya.


Sesampainya di Malang, ia berpikir harus segera mendapatkan kamar kost dan segera mendapatkan pekerjaan.


Tak lama kemudian, Ajeng mendapat informasi bahwa ada warung makan yang membutuhkan pelayan.


“Saya bertanya tentang lowongan menjadi pramusaji, tetapi masih ada dan saat itu saya menceritakan masalah saya padanya. Awalnya tidak diterima karena saya masih di bawah 16 tahun. Melihat kondisi saya, akhirnya saya diperbolehkan dengan syarat harus merahasiakan asal usul dan umur saya,” jelasnya.


Tak hanya sebagai pramusaji, Ajeng juga berkesempatan menjadi babysitter dan bekerja di laundry.


Dari pekerjaan itu akhirnya dia bisa membeli smartphone dan mulai membuat akun media sosial mulai dari Facebook, Instagram, dan lain-lain.


Setelah membuat akun media sosial, Ajeng mendapat pesan di akun Instagram miliknya.


Pesan itu berisi bahwa Ajeng sangat mirip dengan keponakannya yang hilang. Setelah berbicara, ternyata pengirim pesan itu adalah bibinya dari ayah kandung Ajeng.


Ajeng juga tidak mudah percaya saat itu, lalu dari pesan Instagram beralih ke video call.


"Video call itu ada bibi, ada nenek, kamu pasti menangis pertama kali diperkenalkan oleh istri pertama ayahmu," katanya.


Saat video call dengan bibinya Ajeng selalu menanyakan kabar ayahnya.


Tapi selalu dijawab ayah sedang bekerja. Merasa terdesak, akhirnya bibinya jujur ​​bahwa ayah Ajeng telah meninggal 4 tahun yang lalu.


"Saya ketemu nenek saya jadi sebelum pandemi nenek saya meninggal. Nenek tidak ada, Ayah juga tidak ada," katanya.


Setelah bertemu dengan keluarga ayahnya, Ajeng mulai mencari ibunya.


Dengan media sosial Twitter ia mencoba membuat thread di akhir 2019 hingga awal 2020.


Ia memilih akun media sosial Twitter karena dinilai mampu menjangkau khalayak yang lebih luas jika dibandingkan dengan media sosial lainnya.


“Saya sedang browsing cara membuat utas di Twitter karena Twitter sedang tren cepat. Setelah membuat thread, saya banyak mendapat bantuan dari KPU Sleman dan juga Disdukcapil,” ujarnya.


Ibu Ajeng juga mencari

Sudah takdirnya, pada pertengahan 2021, D juga mencoba mencari nama Ajeng di Twitter.


D kemudian menemukan berita tentang putranya.


"Saya mulai membaca berita, mungkin saya sudah membacanya 20 kali lebih banyak," katanya.


Saat mencari nama Ajeng, D dalam kondisi sakit. Saat itu ia hanya bisa berdoa agar bisa bertemu dengan anak itu secepatnya.


“Saya sakit saat itu, pikiran saya buruk. Saya ingin bertemu anak saya sebelum saya mati," katanya.


D mencoba menghubungi keluarganya di Bogor dan bisa terhubung dengan Ajeng pada 13 Agustus 2021.


Akhirnya pada 29 Agustus, Ajeng terbang ke Yogyakarta untuk menemui ibunya.


Saat bertemu D, dia menceritakan apa yang terjadi pada 2006. Ajeng juga tidak memendam amarah kepada ibunya.


"Alhamdulillah saya tidak marah, mungkin saya kecewa. Saya juga berpesan kepada Ajeng untuk tidak marah kepada orang tua angkatnya, bagaimana pun Ajeng dibesarkan dan disekolahkan," kata D.

Related Posts

Posting Komentar